29 April 2012

Apakah gagal melanjutkan sekolah menjauhkan kita dari sukses? Tokoh-tokoh berikut ini membuktikan bahwa belajar tak selalu harus di sekolah. Bahkan ketika sekolahnya gagal diselesaikan, mereka bisa belajar sendiri dari kehidupan yang dihadapinya dan meraih sukses luar biasa. Berikut ini mereka yang sukses luar biasa mengubah nasib dengan belajar secara autodidak.

1. Agatha Christie (1890 – 1976) Belajarnya Cuma di Rumah


Agatha Christie adalah penulis asal Inggris yang dikenal sebagai Master of The Mystery Novel atau Queen of Crime. Novel bergenre misterinya begitu terkenal ke seluruh dunia. Ia menulis 80-an novel. Sebanyak 30-an novelnya sudah diadaptasi ke dalam film.

Di manakah ia belajar hingga menjadi penulis yang begitu produktif? Ternyata Agatha hanya belajar di rumah. Sebenarnya di keluarganya, ia punya dua kakak yang kebetulan mendapat kesempatan sekolah formal. Sedangkan untuk Agatha, ibunya memilih untuk mengajari sendiri di rumah. Saat usia putrinya menginjak 8 tahun, sang ibu baru mendatangkan tutor ke rumah.

Ketika Perang Dunia I bergolak, Agatha bekerja menjadi perawat. Saat itu usianya baru belasan. Kemudian ia bekerja di apotek rumah sakit yang banyak mengilhami cerita soal racun dalam novel-novelnya di kemudian hari.

Novel pertamanya lahir setelah kakaknya, Madge, memberinya tantangan, apakah ia bisa menulis novel. Tantangan itu ia jawab dengan novel pertamanya berjudul “The Mysterious Affair at Styles” (Misteri di Styles). Dari sanalah ia meniti karier sebagai novelis.

2. Frederick Douglass (1818 – 1895): Budak yang Belajar Autodidak

Frederick adalah seorang budak asal Amerika Serikat, yang dilarang sekolah. Meski begitu ia pantang menyerah untuk belajar. Ia mulai dengan belajar membaca dari seorang aktivis gerakan pembebasan perbudakan. Ia belajar dari apa pun yang bisa ia baca. Untuk memperkaya ilmunya, Frederick selalu mencari kesempatan untuk berbicara dengan orang-orang yang pengetahuannya lebih tinggi darinya.

Terbukti belajarnya efektif, karena setelah bebas sebagai budak ia menjadi penulis hebat, orator ulung, dan pemimpin gerakan pembebasan perbudakan.


3. Lawrence Ellison (66 tahun): Membangun Oracle karena Terinspirasi sebuah Paper

Lawrence (Larry) Ellison adalah pendiri Oracle, perusahaan pembuat software terbesar kedua dunia saat ini. Seperti pengusaha di bidang teknologi informasi lainnya yang kebanyakan drop-out perguruan tinggi, Larry pun demikian. Ia keluar dari University of Illinois pada tahun keduanya kuliah. Setelah itu ia membangun kariernya sebagai ahli data system.

Ia tertarik mendirikan Oracle pada tahun 1977 setelah terinspirasi dari paper karya Edgar F. Codd mengenai database system berjudul “Relational Model of Data for Large Shared Data Banks.”

4. Peter Jennings (1938 – 2005): Presenter Terkenal yang Tak Lulus SMA
 
Presenter terkenal ABC News ini sebenarnya tak lulus SMA. Jennings memulai kariernya sejak usia 9 tahun. Saat itu ia menjadi penyiar radio anak-anak di Kanada. Ayahnya yang juga penyiar radio CBC dan sedang bertugas di luar negeri berang ketika tahu anaknya jadi penyiar radio di tempatnya bekerja. Ayahnya memang tak menyukai nepotisme.

Kegiatan jadi penyiaran ciliknya tak lama. Peter lebih konsentrasi sekolah. Namun sekolahnya tak mulus. Malah ia sempat tak naik ke kelas 10. Menurut pengakuannya ia bosan belajar saat itu. SMA-nya pun tak tamat.

Ia sebenarnya ingin sekali menjadi penyiar seperti ayahnya. Namun kesempatan itu tak mudah ia dapat. Ia lebih dulu bekerja di bank dan sempat aktif di teater setempat.

Baru pada usia 21 tahun ia bisa meraih impiannya menjadi penyiar radio. Setelah itu kariernya terus menanjak dengan semangat autodidaknya yang tinggi hingga kemudian menjadi wartawan dan penyiar televisi kenamaan AS.

5. Anthony Robbins (50 tahun): Bekerja Sambil Belajar dari Pembicara Ternama
Ia hanya tamat SMA dan memulai kariernya dengan cara mempromosikan seminar yang diadakan Jim Rohn. Saat itu usianya baru 18 tahun. Ia memanfaatkan kedekatan dengan Jim Rohn untuk belajar “happiness and success life“. Tak heran jika ia tak segan menyebut Jim Rohn sebagai mentor pertamanya.

Pada usia 22 tahun, Anthony Robbins mulai belajar Neuro-Linguistic Programming (NLP) secara informal dari penciptanya, John Grinder. Setelah belajar dari tokoh lain yang juga secara informal, Robbins akhirnya bisa mengembangkan ilmu NLP menjadi ilmu baru yang disebutnya Neuro-Associative Conditioning (NAC).

Dengan belajar yang bisa disebut autodidak (bukan di bangku sekolah atau perguruan tinggi), Robbins akhirnya menjadi penulis buku laris dan motivator terkenal di dunia. Ia sudah berbicara di hadapan lebih dari 50 juta orang di lebih dari 50 negara.

Jangan heran, dari sisi finansial, dari semula pemuda miskin, Robbins menjadi pembicara dengan tarif tinggi. Dalam kariernya ia pernah menjadi salah satu penasihat (mantan) Presiden AS Bill Clinton.

26 April 2012

Dokter Hebat di Pedalaman Kalimantan

Tak pernah terlintas di kepala dr Rossy Tedjaningsih bekerja di Puskesmas di pedalaman Kalimantan Barat. Semuanya berawal dari tahun 2004 silam, saat lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung, diwajibkan menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Sungai Ayak, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.

Sebagai perempuan yang tumbuh di kota besar macam Bandung, menjadi dokter di pedalaman ini jelas jauh dari bayangannya. Saat pertama kali bertugas, Rossy harus menerima kenyataan listrik hanya menyala dari Maghrib sampai pagi. Baru sejak 2010, listrik menyala sepanjang hari.

Kerap, di malam hari sekali pun, listrik mati. Rossy pun berkreasi, menyiapkan lampu darurat yang dibelinya di Kota Pontianak.

Setahun berjalan, tahun 2005, Rossy pun mengikuti penerimaan pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintahan Kabupaten Sekadau yang memisahkan diri dari Kabupaten Sanggau. Rossy lulus serta bertugas di Sungai Ayak hingga sekarang.

“Saya bangga mengabdi untuk masyakat kecil di daerah pedalaman terpencil ini sekarang. Walaupun selalu saja dapat hambatan, akan tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Saya ikhlas dengan semua ini,” tuturnya.

Rossy sempat ditawari pindah ke kecamatan Teraju yang lebih maju kondisinya daripada Sungai Ayak. Namun tidak ada penggantinya di Sungai Ayak membuat dia bertahan. Maklum, Sungai Ayak ini susah dicapai dari pusat kabupaten.

Pelan-pelan, Rossy mengubah imej Puskesmas Sungai Ayak. Jika dulu tidak ada fasilitas rawat inap, Rossy pun mengadakannya. Kesan kumuh dan tak berpenghuni diubah dengan memberikan pelayanan yang lebih baik dan dengan hati.

Kini, justru Puskesmas yang dipimpinnya menjadi favorit warga kecamatan lain untuk berobat karena fasilitas yang dimilikinya.

Pelayanan di rawat inap pada masa itu tentulah dikerjakan sendiri karena keterbatasan tenaga perawat, namun hal tersebut bukanlah halangan. “Masyarakat umumnya sebelum diberlakukan rawat inap di puskesmas, lebih senang dilayani di rumah dan bahkan tak jarang meminta untuk keluar kota seperti ke daerah yang jauh dari akses. Meskipun ada beberapa petugas yang bertugas karena sepi mereka lebih memilih untuk ikut bertugas di Sungai Ayak," kata Rossy.

Kini, fasilitas rawat inapnya juga menjadi favorit ibu-ibu yang hendak melahirkan. Sebagai seorang perempuan, Rossy tahu kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi puskesmas agar ibu-ibu bersedia melahirkan di puskesmas.

Dan gebrakan Rossy mendapat ganjaran. Tahun 2009, Puskesmas Sungai Ayak menyabet juara I untuk kategori puskesmas terbaik se-Kalimantan barat. Pada 2011 lalu, Dr Rossy Tedjaningsih mewakili Kabupaten Sekadau sebagai kandidat dokter teladan tingkat propinsi.

Dan kemajuan Sungai Ayak bukan hanya pada pelayanan rumah sakit. Akses jalan yang tadinya susah dan sulit sekarang menjadi lancar. Sungai Ayak pun berubah jadi tujuan bagi tenaga kesehatan muda untuk bekerja.